Pantau Jejak Sejarah, Nasional – Mungkin tidak asing lagi bagi publik tentang jejak sejarah sosok seorang Max Havelaar atau terkenal dengan sebutan Multatuli yakni sang penangtang Kolonialisme pada jaman Belanda di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten, inilah sosoknya.
Dilansir dari dw.com, menurut opini Geger Riyanto sosok Max Havelaar atau Multatuli yang tercatat dalam sejarah sastra Indonesia.
Menurut Riyanto dalam opini yang ditulisnya, Max Havelaar mungkin adalah sosok penentang kolonialisme. Novelnya, Max Havelaar tidak ada habis-habisnya dipromosikan sebagai novel yang membunuh kolonialisme.
Max Havelaar sendiri bercerita tentang Havelaar, sosok idealis yang ditempatkan sebagai asisten residen Lebak, Banten. Lebak merupakan daerah yang melarat di masa tanam paksa.
Havelaar, yang tulus berharap dapat membantu orang-orang Lebak, menemukan residen dan bupati bersekongkol mengeksploitasi orang-orang Lebak. Ia dicopot dari jabatannya. Lantas, beberapa tahun selepasnya, kisah itu terungkap dalam novel ini.
Namun, berbagai penyelidikan mengungkap fakta-fakta tidak sedap. Mitos dari Lebak karangan Nieuwenhuys memperlihatkan novel Max Havelaar punya segambreng masalah dengan akurasi historis.
Multatuli dianggap tidak memahami masyarakat yang hendak “dilindunginya.” Dari masa jabatannya yang singkat di Lebak, kesaksian mengatakan ia lebih banyak mengucilkan diri dari subjeknya. Di hadapan bupati, ia membawakan dirinya sebagai atasan ketimbang rekanan. Ia tergulung dalam intrik persengketaan lokal yang tak disadarinya.
Max Havelaar memotret Havelaar sebagai sosok yang idealis. Lantaran idealisme yang naif itulah, ia karam menantang tatanan kolonialisme yang besar, represif, dan licik.
Akan tetapi, musuh-musuh Multatuli mengungkap surat-surat pribadinya sepeninggal sang pengarang untuk memperlihatkan “Havelaar” tak seperti yang digambarkan di novelnya. Ia ketagihan berjudi. Ia memperlakukan anak dan istrinya dengan buruk tanpa alasan apa pun. Ia pernah tiba-tiba saja menuduh anaknya melakukan pembunuhan.
Satire, Bukan Sejarah
Kendati demikian, sedari awal Multatuli tak berpretensi hendak mengakhiri kolonialisme. Sedari awal, Multatuli tak menolak sistem penguasaan Belanda di koloninya. Apa yang disayangkannya adalah segelintir elite yang menyelewengkannya padahal perkaranya berwatak sistemis—bahwa sistem kolonial itu sendiri bermasalah.
Lantas, Multatuli juga tak pernah berpretensi bahwa karyanya merupakan gambaran sejarah yang akurat. Multatuli mengandaikan novelnya sebagai teriakan seorang ibu yang anaknya tercebur ke dalam air. Di bagian terakhir novelnya Multatuli juga secara gamblang menegaskan berulang-ulang dirinya akan didengar melalui novelnya. Ia akan melakukan apa pun agar karyanya dibaca—menerjemahkannya ke berbagai bahasa atau dengan kekerasan kalau perlu.
Gestur ini bukan milik seseorang yang ingin memotret sejarah secara presisi. Gestur ini milik seseorang yang merasa dicopot dari jabatannya dengan tidak adil, dipermalukan, dan ingin memulihkan kehormatannya. Ia bertekad menjadi whistleblower. Dan tebak apa? Multatuli sukses secara spektakuler melakukannya.
Pengarang D.H. Lawrence, dalam pengantarnya untuk buku Max Havelaar terbitan 1927, saya kira, cukup jitu mengidentifikasi motif Multatuli. “Ia [Multatuli] ingin didengar,” tulis Lawrence.
“Ia adalah misionaris menggebu-gebu untuk orang-orang Jawa yang malang! Pasalnya, ia tahu misionaris didengar! Dan orang-orang Jawa merupakan tongkat yang pas untuk memukuli anjing. Publik yang terpikat merupakan anjing bersangkutan. Anjing yang ingin dipukulinya. Untuk dipukulinya hingga mereka tak akan melupakannya!”
Lawrence lantas menilai Max Havelaar dengan provokasi yang bukannya tidak masuk akal. “Buku ini sama sekali bukan traktat. Ini adalah satire.”
Republik di Ujung Bedil Kolonialisme
Negara ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan. Menjelang akhir perang pun Indonesia bahkan masih menghadapi serbuan sekutu. Simak perjalanan panjang nusantara hingga merengkuh kedaulatannya.
Awal abad ke 16 Portugis memasuki nusantara, berdagang dan mencoba menguasainya. Rakyat di beberapa wilayah melakukan perlawanan. Awal abad ke-17 giliran perusahaan Belanda, VOC yang mencari peruntungan di nusantara. Nusantarapun jatuh ke tangan Belanda, sempat direbutkan Perancis dan Inggris, lalu kembali dalam genggaman negeri kincir angin itu.
Pecah belah dan jajahlah
Untuk menguasai nusantara, Belanda memanfaatkan persaingan di antara kerajaan-kerajaan kecil. Berbagai pertempuran terjadi di bumi nusantara. Di Jawa, Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama pendudukannya di bumi Nusantara. Jendral de Kock memanfaatkan suku-suku lain berusaha menaklukan Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Pengorbanan darah dan nyawa
Wilayah-wilayah di luar Jawa pun tak ketinggalan mengalami berbagai pertempuran sengit. Salah satunya pertempuran di Bali tahun 1846 yang tergambar dalam lukisan ini, dimana Belanda mengerahkan batalyonnya dalam upaya menaklukan pulau Dewata tersebut.
Bersatu melawan penjajahan
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia didirikan September 1926 oleh para mahasiswa. Organisasi ini bermaksud untuk menyatukan organisasi –organisasi pemuda yang tadinya terpecah-pecah dan dari berbagai perguruan tinggi seperti Stovia dan THS dan RHS. Perhimbunan besar ini memiliki pemikiran bahwa persatuan Indonesia merupakan senjata paling ampuh dalam melawan penjajahan.
Dijajah saudara tua
Dalam perang dunia ke-2, Jepang memerangi Tiongkok dan mulai menaklukan Asia Tenggara, termasuk Indonesia tahun 1941. Peperangan juga terjadi di berbagai belahan dunia. Ketika Jepang kalah dalam PD II, tokoh nasional merencanakan kemerdekaan Indonesia.
Teks bersejarah bagi bangsa Indonesia
Teks Proklamasi dipersiapkan. Dirumuskan oleh Tadashi Maeda, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo, dll. Teks tersebut digubah oleh Mohammad Hatta dan RM. Achmad Soebardjo Djodjodisoerjo dan ditulis tangan oleh Soekarno. Teks Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah “Proklamasi Otentik”, diketik Sayuti Melik.
(*Ar/Red)
Sumber : dw. com, berita sebelumnya berjudul “Multatuli Bukan Pahlawan tanpa Cela”
Foto : dw.com /picture-alliance/dpa/Bifab